Tarekat Alawiyyah
berbeza dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbezaan itu, misalnya,
terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadah (olahan
rohani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak,
dan beberapa wirid serta zikir ringan.
Sehingga wirid dan zikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh
siapa saja meskipun tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid
yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat
dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat
Syadziliyah [yang menekankan riyadah qulub (olahan hati) dan batiniah]
dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadah al-‘abdan (olah
fisik)].
Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41
tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman
Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India,
dan Asia Tenggara (termasuk Malaysia). Tarekat ini didirikan oleh Imam
Ahmad bin Isa al-Muhajir – lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin
Ahmad al-Muhajir , seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramaut pada
abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah
dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid
Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama
“Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.
Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan
kaum Alawiyyin atau lebih dikenali sebagai saadah atau kaum sayyid –
keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan lapisan paling atas dalam
strata masyarakat Hadhrami. Kerana itu, pada masa-masa awal tarekat ini
didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum
Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai
lapisan masyarakat muslim lain dari bukan Hadhrami.
Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki wirid dan zikir
tersendiri dalam pengamalan bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya
keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin
atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata
lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus
berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan
ajaran zikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan,
kerana tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak
(tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya
cenderung melibatkan riyadah-riyadah secara fizikal dan kezuhudan ketat.
Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa
Syekh Abdullah al-Haddad – Tarekat Alawiyyah yang diperbaharui, tarekat
ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia dan
Malaysia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah
seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang
besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat
‘Aidarusiyyah dan Tarekat ‘Aththahisiyyah.
Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir
Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah keturunan
Nabi Muhammad SAW melalui garis Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib
atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW. Ia lahir di Basrah, Iraq,
pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama dikenal sebagai
orang yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan
luas. Mula-mula keluarga Isa bin Muhammad tinggal di Madinah, namun
karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah dan
Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak
ditempa oleh ayahnya dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal
sebagai tokoh sufi. Bahkan oleh kebanyakan para ulama pada masanya, Imam
Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah
seorang sufi selama melakukan proses perjalanan menuju Allah-red).
Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di
Iraq. Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam
Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal shaleh.
Sebaliknya, semakin ia kaya semakin banyak pula aktiviti kerohanian dan
sosialnya.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan
yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan
munculnya badai zaliman dan khurafat. Sedar bahawa kehidupan dan gerak
dakwahnya tidak selamat di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu
memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan
hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh isterinya, Syarifah Zainab binti
Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya,
Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap
di sana sampai akhir hayatnya.
Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal
di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang
tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu,
tepatnya tahun 317 H, Mekah mendapat serangan sengit dari kaum
Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah.
Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia
sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya
saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.
Awal Perkembangan Tarekat Alawiyyah
Tonggak perkembangan Tarekat Alawiyyah dimulai pada masa Muhammad bin
Ali, atau yang akrab dikenal dengan panggilan Al-Faqih al-Muqaddam
(seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Pada
masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami puncak
kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang
memiliki kelebihan pengetahuan bidang agama secara terperinci, di
antaranya soal fiqih dan tasawuf. Di samping itu, konon ia pun memiliki
pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam
kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah (aliran kesufian).
Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah
menggambarkan sebagai berikut: (“Pada suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam
tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci”). Pada hikayat
ke-24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita, Al-Faqih
al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua
yang ada di hadapannya sirr dan yang ada hanya Allah. Dalam keadaan
fana’ seperti ini datang Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya:
“Segala sesuatu yang mempunyai nafs (roh) akan merasakan mati .” Dia
mengatakan, “Aku tidak mempunyai nafs.” Dikatakan lagi, “Semua yang
berada di atasnya (dunia) akan musnah.” Dia menjawab, “Aku tidak berada
di atasnya.” Dia mengatakan lagi, “Segala sesuatu akan hancur kecuali
wajah-Nya (Dia).” Dia menjawab, “Aku bagian dari cahaya wajah-Nya.”
Setelah keadaan fana’nya berlangsung lama, lalu para putranya memintanya
untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya, mereka
memaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. Dan setelah
makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hatif). “Kalian telah
bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia
tidak makan, maka dia akan tetap bersama kalian.”
Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu
dikembangkan oleh para syeikh. Di antaranya ada empat syekh yang cukup
terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739H), Syekh Umar
al-Muhdhar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah
al-‘Aidarus bin Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan Syekh
Abu Bakar al-Sakran (821 H).
Selama masa para syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari
ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu
sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui
para tokoh mahupun berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa
syekh di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang
berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf
mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan
Imam Ali sebagai Al-Washiy, atau keterikatan jalur sejarah Alawi dan Ba
Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk Imam Ali sebagai
pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, adanya sikap elastik terhadap pemikiran yang
berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur dengan
masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga
mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.
Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan
khawwash (elite), seperti al-jam’u, al-farq, al-fana’ bahkan al-wahdah,
sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Al-Faqih al-Muqaddam)
dan Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf.
Keempat, dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu
usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi tarekat sebagai Thariqah
(suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga
mampu menghilangkan ramuan yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.
Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan
al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan mahabbah dan
al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana’-nya, al-Hallaj
dengan wahdah al-wujud-nya, maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain
memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan
al-faqru-nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya’
dan ‘ujub, yang juga merupakan bahagian dari zuhud. Adapun al-faqru
adalah suatu sikap yang secara lurusnya penempatan diri seseorang
sebagai hamba di hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha
Kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu dahagakan
nikmat-Nya. Secara datarnya, sikap tersebut dipahami dalam pengertian
keseluruhan bahwa rahmat Tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai
simpati terhadap kaum fakir miskin.
Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadikan kehidupan mereka
tidak boleh dilepaskan dari kaum kelas bawah maupun kaum tertindas
(mustadl’afin). Syeikh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu
dikenal dengan kaum fuqaranya, sedangkan isteri Muhammad bin Ali
terkenal dengan dengan ummul fuqaranya.
Syekh Abdullah al-Haddad dan Tarekat Alawiyyah
Nama lengkapnya Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah
al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat Alawiyyah, nama al-Haddad ini tidak
bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan pemikiran baru
tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masa-masa mendatang. Ia lahir
di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin
Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang saleh. Al-Haddad
sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh
ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).
Peranan al-Haddad dalam memperkenalkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh
penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal
juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Pengertian al-Haddad itu misalnya,
ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat
Alawiyyah. Ia mengatakan, bahawa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah
Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya
untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal
baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke
dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah
sampai pada tingkat mujahadah, mengosongkan diri baik lahir mahupun
batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala
perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan
perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah (umum), yakni mereka
yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian
perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahawa
Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai jembatan awal
menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan
seorang syeikh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya, dan
membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga
sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya
mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah
perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan
rekreatif yang bersifat rohani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan
hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di
dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama,
ilmu yang akan membantu untuk membuat strategik, kedua, sikap wara’
yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang
menumpangnya. Keempat, moral yang baik yang menjaganya.
Translate
signal teknologi
Senin, 24 Maret 2014
ALUMNI PON-PES IBNUL AMIN PEMANGKIH BARABAI
KH.Mahfuz Amin dan Pondok Pesantren Ibnul amin Pemangkih
Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin pemangkih
Pondok pesantren ini terletak di desa Pamangkih, kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Indonesia. Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih didirikan secara resmi pada tanggal 11 Mei 1959 M / 22 Syawal 1378 H. Pendirinya adalah seorang ulama dari masyarakat Pamangkih yang bernama K.H.Mahfuz Amin bin Tuan Guru H. Muhammad Ramli bin Tuan Guru H. Muhammad Amin.
K.H. Mahfuz Amin, tokoh penting dalam pendirian Pesantren Pamangkih.
Cita-cita untuk mendirikan Pondok Pesantren oleh KH.Mahfuz Amin berawal dari melihat pendidikan agama atau pengajian yang diselenggarakan di langgar-langgar terlalu memakan waktu. Di mana seseorang untuk bisa menamatkan Ibnu Aqil dalam bidang Nahwu / Syaraf atau menamatkan Fathul Mu’in dalam bidang Fiqih, ia harus belajar puluhan tahun. Di samping itu,ia juga melihat para santri atau pelajar yang tinggal di langgar kadang-kadang melebihi kapasitas tampung langgar yang dihuni, sehingga mengakibatkan langgar sebagai tempat belajar juga sebagai tempat tidur, tempat makan dan bahkan kadang-kadang sebagai tempat memasak.
Hal lain lagi adalah ia melihat seorang Tuan Guru (Kyai) kurang memberikan kesempatan kepada muridnya yang lebih pandai untuk bisa menerapkan ilmunya dengan mengajar kitab-kitab kecil kepada murid-murid yang pelajarannya lebih rendah. Dengan demikian akibatnya seorang Tuan Guru terlalu lelah, karena dari kitab yang paling kecil hingga kitab yang paling besar terpaksa Tuan Guru sendirian yang mengajarkannya kepada seluruh muridnya. Dari beberapa hal tersebut itulah, timbul keinginan dari K.H. Mahfuz Amin untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama yang efektif sebagai upaya mencerdaskan ummat, khususnya generasi penerus bangsa. Atas wasiat almarhum orang tuanya yaitu Tuan Guru H. M. Ramli yang mewasiatkan untuk lebih memajukan pelajaran pelajaran agama, juga atas nasihat dan petunjuk dari seorang gurunya KH. Abu Bakar Tambun, agar beliau mendirikan pondok pesantren.
Maka pada tanggal 23 Oktober 1958 (8 Shafar 1378 H) didirikanlah sebuah pondok pesantren yang waktu itu dikenal dengan nama Pondok Hulu Kubur. Nama Pondok Hulu Kubur tidak tertulis di papan nama, hanya mendapat sebutan di lidah orang umum. Nama Pondok Hulu Kubur tidak lama dipakai sebagai nama terhadap pesantren yang baru lahir ini, karena pendirinya yaitu KH. Mahfuz Amin telah mendapatkan sebuah nama pilihan yaitu “Ibnul Amin”. Nama Ibnul Amin tersebut dipilih sebagai penghormatan kepada almarhum kakek KH. Mahfuz Amin sendiri. Karena KH. Mahfuz Amin sebagai pendiri dan pendidik di pondok pesantren ini telah mendapatkan ilmu dari ayahnya yaitu Tuan Guru H.M. Ramli, sedangkan ayahnya juga belajar dari orang tuanya yaitu Tuan Guru H.M. Amin. Oleh karena itulah pesantren diberi nama Ibnul Amin yaitu sebagai peringatan terhadap kakeknya yang telah berjasa kepada orang tuanya dan KH. Mahfuz Amin sendiri.
Pengelolaan Pondok Pesantren Ibnul Amin pada mulanya ditangani langsung oleh KH. Mahfuz Amin sendiri yang dibantu oleh beberapa orang santri senior. Setelah KH. Mahfuz Amin meninggal tahun 1994 (1415 H), kepemimpinan pondok pesantren sampai sekarang dipercayakan kepada KH. Muchtar HS, yaitu seorang muridnya yang merupakan santri Ibnul Amin angkatan pertama.
Perkembangan Pondok Pesantren
Sejak berdirinya Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin secara resmi pada tanggal 11 Mei 1959 / 22 Syawal 1378, KH. Mahfuz Amin sebagai pencetus dan pendiri sekaligus sebagai pengasuh dan pengajar selalu berusaha untuk mengembangkannya dan membesarkannya, baik fisik maupun sistem pendidikan dan pengajarannya. Di awal berdirinya, Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin hanya memiliki 12 kamar asrama untuk tempat mukim 9 orang santri, dengan fisik bangunan yang sangat sederhana yang di malam hari diterangi lampu minyak tanah. Sedangkan kegiatan belajar mengajar masih dilakukan di rumah KH. Mahfuz Amin. Pada tahun 1959 Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin membangun 4 lokal belajar dan dua ruang kecil untuk tamu dan kantor. Sejak itu kegiatan belajar mengajar dipindahkan dari rumah pribadi KH. Mahfuz Amin ke tempat baru ini. Kemudian dengan bertambahnya santri baru, asrama yang ada sudah tidak mampu menampungnya. Maka pada tahun 1960, kembali dibangun sebuah asrama dua tingkat (dua lantai) dari bahan kayu yang cukup besar dan dapat menampung santri lebih banyak. Dengan demikian segala kegiatan pesantren sudah dapat dilaksanakan dalam satu lingkungan komplek, kecuali salat berjamaah yang masih dilaksanakan di langgar Tuan Guru H.M. Ramli (ayah KH. Mahfuz Amin).
Dari keinginan KH. Mahfuz Amin agar segala bentuk kegiatan harus berada dalam satu kawasan demi untuk mempermudah pengawasan terhadap kedisiplinan santri dalam segala aspek kehidupan mereka, kemudian dibangun Mushalla kecil berukuran 10 m X 10 m dari bahan kayu. Berkat semagat yang tinggi untuk membangun dan ketekunan KH. Mahfuz Amin serta atas kerja sama yang baik dengan semua pihak, pada tahun 1972 komplek Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin berdiri dengan beberapa banguanan asrama yang terdiri dari 52 kamar, 2 buah rumah guru, satu mushalla berukuran 10 m X 10 m. Pada waktu itu santri yang mukim sebanyak 251 dengan 16 orang guru.
Santri
Santri yang mukim dan belajar di Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin Pamangkih pada tahun 2005 berjumlah 1400 orang santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan, seperti Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tapin, Banjarmasin, Kotabaru, Marabahan, Sampit, Kapuas, Palangkaraya, Pontianak, Samarinda, Balikpapan, Tenggarong dan daerah-daerah lain. Disamping itu banyak juga santri yang berasal dari luar pulau Kalimantan, seperti dari Sulawesi, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Jambi dan lain-lain.

Riwayat KH Mahfuz Amin Pendiri PP Ibnul Amin
KH. Mahfuz Amin putra tuan Guru H. Muhammad Ramli putra Tuan guru H. Muhammad Amin. Ia adalah putra pertama dari Sembilan bersaudara, pasangan Tuan guru H. Muhammad Ramli dan Hj. Malihah, Hj. Rapiah dan terakhir Tuan guru H. Muhammad Zuhdi.
Mahfuz Amin dilahirkan di Pamangkih pada malam selasa tanggal 23 Rajab 1332 (sekitar tahun 1914 M) dirumah orang tuanya yang sederhana diasuh dan dibesarkan di bawah pengawasan sehingga menjadi orang yang mulia dan banyak berjasa.
Ia pertama kali dididik dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang religius, sebab orang tuanya yang bernama H. Muhammad Ramli adalah ulama berpengaruh dan dikenal mempunyai ilmu agama yang dalam. Tidak heran kalau di Pamangkih, orang tua dari Tuan guru H. Muhammad Ramli yakni Tuan guru H. Muhammad Amin di sebut Tuan guru besar, sedangkan Tuan guru H. Muhammad Ramli dikenal dengan Tuan guru Tuha, karena ditangannyalah kata putus dalam berbagai persoalan, baik yang menyangkut bidang agama maupun problem sosial kemasyarakatan lainnya.
Dalam usia 6 tahun, ia sudah belajar al-Qur’an tahap pertama, di bawah pengajaran langsung orang tuanya. Pendidikan formal ia tempuh di volk School selama tiga tahun di Pamangkih yang kemudian dilanjutkan ke Vervolk School selama 2 tahun di Desa Banua Kupang.
Selain itu beliau tidak pernah belajar di sekolah formal lainnya. Untuk selanjutnya ia menempuh pendidikan nonformal berupa pengajian agama yang diberikan oleh orang tuanya sendiri disamping mengikuti pengajian dengan Tuan guru Muda H. Hasbullah putra H. Abdur Rahim di dekat Mesjid Jami’ Pamangkih. Selain itu ia jiga belajar dengan Tuan guru H. Muhammad Ali Bayangan dan Tuan guru H. Mukhtar di Desa Negara.
Tahu 1938, saat berusia 24 tahun ia berangkat ke tanah suci mekkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji seraya memperdalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama.
Diantara guru-gurunya selama di kota Mekkah antara lain adalah :
- Syeikh Yasin al-Fadani
- Syeikh Abu Bakar Putra Sulaiman
- Syeikh al-‘Allamah Abdul Qadir al-Mandili
- Al-‘Allamah asy- Syeikh H. Muhammad Anang Sy’arani
- Syeikh Abdurrahman, Kelantan
- Syeikh Muhammad Nuh, Kelantan
- Syeikh Muhammad Ahyad putra Idris alpBughuri
- Syeikh Abdul Kaliq, Perak, Malaysia
- Syeikh KH. Abdul Jalil al-Maqdisi
- As-Sayyid Alawy putra Sayyid Abbas al-Maliki
- As-Sayyid Amin Kutbi
- Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath
- Syeikh Mukhtar, Ampenan
Setelah 3 tahun menimba ilmu pengetahuan di Tanah Suci, ia pulang ke tanah air dan tepat pada tanggal 8 Oktober 1941 tiba kembali di kampung kelahirannya. Sejak saat itu ia mulai mengajar agama sambil terus belajar di samping aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Setelah hamper 20 tahun berkecimpung dimasyarakat, bermacam pengetahuan dan pengalaman telah diperoleh, pahit manisnya kehidupan telah dilalui, namun cita-cita ingin menyebarkan dan ingin meninggikan agama Allah tidak pernah padam. Hingga pada saatnya pada tahun 1958, fajar cita-cita yang diidamkan mulai tebit bersinar di Desa Pamangkih. Lembaran-lembaran kitab kuning yang mulai siran kembali cerah dengan berdirinya sebuah pondok pesantren yang bernama “Ibnul Amin” yang belum pernah sepertinya di Kalimantan pada umumnya.
Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun1975 ia juga membangun pondok pesantren Ibnul Amin Putri untuk mencetak kader-kader muslimah yang shalehah.
Ia adalah sosok pribadi yang tidak pernah menyerah dalam berjuang baik dalam masa pendidikan maupun dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan ide-idenya. Teman belajarnya ketika masih belajar dengan orang tuanya diantaranya Tuan Guru H. Mursyid atau lebih dikenal dengan H. Kabau (orang tua dari Drs. Sa’dillah Mursyid MPA, mantan Mensekkab dan Mensesneg) dan Tuan Guru H. Abdul Aziz, adiknya sendiri.
Kelebihannya terletak pada ketekunan dan kerajinan dalam mengulang kaji sendiri (Muthalaah) , disamping itu pula beliau adalah orang yang sangat menghargai waktu.
Walaupun ditengah kesibukan beliau dalam bekerja, karena tenaga dan waktu beliau hampir semua tercurah pada pembangunan dan memajukan pesantren yang beliau asuh, namun tidak berarti kesempatan menulis satu dua buku untuk manunjang pelajaran di pondok beliau tertutup.
Terbukti ada 3 karya tulis beliau, satu yang menjadi pokok bahkan yang pertama kali harus dipelajari santri-santrinya ialah :
Kitab tashrib atau dikenal dengan tashrifan. Walaupun tidak dicetak karena untuk membiasakan santri menulis dalam tahapan pertama. Kitab tashrif ini selalu disalin oleh santri yang baru belajar.
Ringkasan sharaf yang berbahasa arabdengan nama : Mukhtasar Hallul Ma’qudi fi Nazhmil Masqud.
Untuk memudahkan santrinya dalam belajar ilmu falaq beliau ringkaskan satu kitab falaq yang besar yang diberi nama : Al-Mahlulatu fi Mukhtasari Manaahijil Hamiidiyyah.
Disamping berkiprah dibidang keagamaan beliau juga sangat memperhatikan usaha mencerdaskan anak-anak di desanya. Hal ini terbukti dengan peran beliau yang sangat besar dalam membangun sekolah umum (SR) pada tahun 1951.
Beliau menaruh perhatian secara khusus dalam bidang ilmu falaq, baik mempelajari maupun mengajarkannya yang mana pada akhirnya beliau dikenal orang sebagai ahli dibidang ilmu falakiyyah.
Keberhasilannya dalam belajar dikarenakan beliau sangat menghormati ilmu yang didapat dari gurunya dalam arti penghormatan yang benar dalam mengamalkan ilmu yang diperoleh tersebut. Beliau berhasil menularkan ilmu kepada murid-muridnya yang kini telah tersebar dimana-mana. Kalu dilihat masa belajar beliau memang relative singkat. Tiga tahun di Mekkah dan beberapa tahun dalam asuhan orang tuanya, tetapi karena kesungguhan beliau dalam mempelajari, menghormati dan mengamalkan ilmu yang beliau dapat sehingga tampaklah keberkatan dan manfaat ilmu pengetahuan yang dilikinya.
Beliau juga sangat menghormati guru-guruny, karena kalu seseorang sudah menjadi terhormat dalam hidupnya kita selalu dituntut untuk selalu menghormati guru, karena guru adalah orang yang mengangkat kita dari bumi ke langit sedang orang tua kita menurunkan kita dari langit ke bumi. Beliau selalu menziarahi guru-guru yang masih hidup minimal setahun sekali dan sesudah meninggal beliau berziarah ke makamnya.
Hal lainnya yang menonjol dari kepribadiannya adalah kasih sayangnya dengan para santri. Beliau menginginkan santrinya rajin dalam belajar hingga berhasil dan dapat mengamalkan ilmu yang diperolehnya serta pandai dalam menstranfer ilmunya kepada orang lain.
Siang dan lamam selalu berada di tengah-tengah santrinya. Kalau ada yang bermain-main, beliau tegur dengan saran dan teguran yang lemah lembut diiringi dengan nasehat, dan Nampak kegembiraan dimukanya ketika melihat santrinya yang sedang belajar.
Beliau sangat dikenal dikalangan ulama, khususnya di Kalimantan. Di samping selalu datang berkunjung kepada mereka, tak jarang kesempatan itu digunakan untuk bertukar pikiran atau mudzakarah, lebih-lebih pada masalah-masalah keagamaan. Beliau juga cukup dekat dan akrab dengan KH. Hasyim asy-Ari, Jombang serta KH. Abdush Shomad Mufti kerajaan Pontianak.
Beliau mempersilahkan siapa saja pejabat yang mau datang, menteri, dirjen, gubernur sampai bupati pernah bertandang ke pesantren. Kalau mereka ingin meberikan bantuan untuk pondok, beliau dengan senang hati mau menerimanya, selama “tidak mengikat”. Walaupun demikian beliau tidak pernah memohon kepada mereka dan tetap menjaga jarak. Prinsipnya adalah selama pergaulan itu tidak mengganggu perjuangan beliau untuk kemajuan pondok.
Kepada para kadernya beliau berpesan agar hidup untuk menghidupi pondok bukan justru hidup di pondok. Beliau memang sosok pribadi istimewa, istiqamah, disiplin, tawadhu’ dan disertai semangat ikhlas berkorban. Tidak ada keinginan menggapai kemewahan duniawi. Bicara masalah dunia saja beliau mengantuk. Untuk kepentingan agama, tidak segan-segan beliau korbankan kepentingan sendiri. Beliau tebang kebun cengkeh milik pribadi demi pembangunan Pondok Pesantren Ibnul Amin Putri. Bahkan selama hidupnya, beliau tidak mempunyai kendaraan pribadi.
Demikianlah, selama 37 tahun berjuang untuk membangun serta membina pondok pesantren Ibnul Amin dan santri-santrinya, dari hari kehari lembaran hidupnya dihabiskan untuk lii’laai Kalimaatillaah hingga usai senja.
Keuzuran tampak bertambah, sakit paru-paru beliau tambah hari tambah parah meskipun pengobatan secara intensif selalu diupayakan. Dari RSI Banjarmasin, Surabaya bahkan sampai Jakarta. Sampai pada saatnya, hari minggu, jam 08.45 tanggal 21 Dzulhijjah 1415 H/21 Mei 1995 beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuan anak istri dan murid-murid beliau dalam usia 82 tahun 4 bulan 28 hari.
Dikebumikan pada sore harinya dengan diantarkan oleh ribuan ummat islam ke tempat peristirahatan terakhir pada jam 15.00 di pemakaman umum Pamangkih bersampingan dengan orang tua beliau KH. Muhammad Ramli dan keluarga.
Pamangkih berduka, derai tangis pun pecah. Para santri seolah tak kuasa untuk bicara. Masyarakat terpana karena ditinggal oleh sang panutan yang sangat berjasa untuk dunia pendidikan, khususnya di Kalimantan, untuk selama-lamanya. by: sixxxnal.blogspot.com muhammad husin samarinda kaltim
Langganan:
Postingan (Atom)